1.Pendahuluan
Permasalahan pemerintahan presidensil dengan multi partai di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai hingga kini, banyak para pakar politik dan HTN yang menyimpulkan tidak efektifnya system presidensiil dalam model multi partai. Hal ini karena pentingnya relasi yang kuat antara presiden dengan parlemen untuk mengambil berbagai kebijakan dalam menjalankan pemerintahan. Ide untuk menyederhanakan partai bukan hanya terjadi semenjak reformasi bergulir, pada pemilu tahun 1977 Soeharto menyederhanakan banyaknya partai menjadi tiga saja, yakni Golkar, PPP dan PDI. Namun model yang digunakan oleh Soeharto tidak mencerminkan sikap yang demokratis. Untuk membatasi banyaknya partai politik, sudah banyak cara yang digunakan sepertielectoral threshold dan parliamentary threshold.
Namun berbagai model yang digunakan ternyata belum sepenuhnya berjalan secara efektif. Dalam makalah ini penulis akan ikut memberikan pandangan terkait model penyederhanaan partai di Indonesia dengan tujuan menguatkan system presidensil. Untuk itu penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut:
1)Bagaimana model system pemilu yang selama ini digunakan di Indonesia?
2)Bagaimana model yang ideal untuk menyederhanakan partai di Indonesia?
2.Pembahasan
Kesulitan presidensiil dalam multi partai banyak menjadi perhatian dari para pakar Politik dan HTN, seperti yang dituliskan oleh Mainwaring di bawah ini:
In this article I argue that in presidential sistims, multiparty democracy is moredifficult to sustain than two-party democracy. Only one country Chile—with a multiparty sistim and a presidential sistim has achieved stable democracy. I agree with recent contributions that suggest that presidential sistims are generally less favorable to stable democracy than parliamentary sistims (especially cabinet governments), but go one step further in arguing that the difficulties of presidential democracy are compounded by multiparty sistims Berdasarkan pengamatan Mainwaring, hanya Chile yang kondisi pemerintahannya stabil, bahkan ia setuju dengna pendapat yang mengatakan kalau demokrasi lebih sesuai dengan parlementer dibandingkan dengan presidensiil. Namun dalam makalah ini penulis tidak akan terlalu jauh membahas hal tersebut, karena ketika amandemen kita sudah sepakat untuk mempertahankan dan bahkan memperkuat system presidensiil.
Berbagai Sistem PemiluPolarisasi partai politik sedikit banyak juga dipengaruhi oleh sistem pemilunya, ada dua sistem pemilihan umum,yaitu:
perwakilandistrik/mayoritas (single memberconstituency) dan sistem perwakilan berimbang (proportional representation).
1) Sistem Distrik
Sistim ini merupakan sistim pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis yang dinamakan sebagai distrik memperoleh satu kursi di parlemen. Negara diabagi kedalam wilayah/distrik yang sama jumlah penduduknya. Dalam system ini, calon yang mendapatkan suara terbanyak yang akan menjadi pemenang, meskipun selisih dengan calon lain hanya sedikit. Suara yang endukung calon lain akan dianggap hilang dan tidak dapat membantu partainya untuk mendapatkan jumlah suara partainya di distrik lain
Beberapa keunggulan dari sistim distrik
a. Sistim ini lebih mendorong ke arah integrasi parpol karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan dapat mendorong parpol menyisihkan perbedaan yang ada dan mengadakan kerjasama.
b. Fragmentasi partai dan kecenderungan partai baru dapat dibendung dan akan mendorong ke arah penyederhanaan partai tanpa ada paksaan. Di Amerika dan Inggris system ini telah menunjang bertahanya system dwi partai.
c. Karena kecilnya distrik, wakil yang dipilih dapat dikenal oleh komunitasnya sehingga hubunganya dengan konstituen lebih erat dan orang yang tekah terpilih akan cenderung memperjuangkan kepentingan distriknya.
d. Bagi partai besar, system ini menguntungkan karena melalui distortion effect
dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain, sehingga memperoleh dukungan mayoritas. Sehingga partai pemenang dapat mengendalikan parlemen.
e. Lebih mudah bagi partai pemenang untuk menguasai parlemen sehingga tidak perlu mengadakan koalisi .
System distrik memang akan mengarahkan penyederhanaan partai secara alami, namun system ini juga tidak luput dari kelemahan, diantaranya sebagai berikut:
a. Kurang memperhatkan kepentingan partai kecil dan golongan minoritas.
b. Kurang representatif, karena partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik akan kehilangan suarau yang telah mendukungnya .
c. System distrik kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam berbagai kelompok dan suku.
2). Sistem Proporsional
Dalam sistim ini, presentase kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap parpol sesuai dengan presentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tia
parpol. Jimly Asshidiqie mencontohkan model dari sistim ini, misalkan jumlah pemilih yang sah dalam pemilu 1 juta orang sedangkan jumlah kursi di perwakilan rakyat 100 kursi, maka untuk satu orang wakil rakyat membutuhkan 10 ribu suara. Pembagian kursi di parlemen tergantung seberapa suara yang diperoleh setiap parpol.
Kelebihan/keuntungan sistem proporsional:
a.System proporsional dianggap representatif karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengn jumlah suara masyarakat yang diperoleh dalam pemilu .
b.Sistem ini dianggap lebih demokratis karena tidak ada distorsi (kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen tanpa adanya suara yang hilang). Semua golongan dalam masyarakat memperoleh peluang untuk menampilkan wakilnya dalam parlemen .
Kelemahan/kerugian sistem proporsional:
a. Kurang mendorong partai untuk berintegrasi atau bekerja sama satu sama lain dan memanfaatkan persamaan-persamaan yang ada, tapai cenderung mempertjam perbedaan-perbedaan. Sehingga berakibat pada bertembahnya jumlah partai.
b. Memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan partai menentukan daftar calon.
c. Oleh karena banyaknya partai yang bersaing, maka akan menyulitkan suatau partai untuk meraih suara mayoritas (50% lebih).
Sistim proporsional ada dua, yaitu sistim daftar tertutup dan terbuka. Dalam sistim daftar tertutup, para pemilih harus memilih partai politik dan bukan calon legislatifnya. Sedangkan dalam sistim daftar terbuka, selain memilih gambar paropol para pemilih juga memilih gambar kandidat yang diusung oleh parpol tersebut.
3). Gabungan system distrik dan system proporsional Karena dari kedua system di atas mempunyai kelebihan dan kekuarangan masing-masing, maka beberapa Negara mencoba untuk menggabungkan kedua system tersebut. Jerman adalah salah satu contoh Negara yang berhasil menerapkan gabungan kedua system ini, di Jerman setengah dari parlemen dipilih dengan system distrik dan setengahnya lagi dengan system proporsional. Setiap pemilih mempunyai dua suara; pemilih memilih calon atas dasar system distrik (sebagai suara perama) dan pemilih juga memilih partai dengan dasar system proporsional (sebagai suara kedua). Di jerman juga diterapkan model parliamentary threshold sebagaimana yang kita kenal sekarang. Di sana, sebuah partai akan mempunyai kursi di parlemen jika meraih minimal 5% dari jumlah suara sah secara nasional atau memenagnkan setidaknya 3% distrik pemilihan.
3. Perjalanan Sistem Pemilu di Indonesia
Sejak dulu sampai sekarang Indonesia tidak pernah berhenti mencari system pemilu yang benar-benar cocok. Namun yang pasti, sejak dahulu sampai sekarang Indonesia selalu menerapkan model proporsional meskipun belakangan ini model proporsional yang berlaku bukan semurni asalnya. Pada tahun 1955 pemilu diadakan dua kali; memilih anggota DPR pada bulan September dan memlih anggota Konstituante pada bulan Desember dengan model proporsional karena pada waktu itu hanya system proporsional yang dikenal di Indonesia. Pemilu tersebut menghasilkan 27 partai dan satu perorangan, partai yang sangat menonjol adalah Masyumi, PNI, NU dan PKI10. Pada tahun 1966 dan 1967 sistem distrik sudah mulai didiskusikan, pada saat itu, system distrik dirasa dapat mengurangi jumlah partai secara alamiah. Namun hasil tersebut ditolak ketika pada tahun 1967 DPR membahas RUU yang terkait dengannya. Sehingga pemilu tahun 1971 masih tetap menggunakan system proporsional dengan beberapa modifikasi. Pertama, setiap daerah tinggakat II/kabupaten dijamin mendapatkan satu kursi di DPR. Kedua, dari 460 anggota DPR, 100 nya diangakat; 75 dari ABRI dan 25 dari Non ABRI yang diangkat dari utusan golongan dan daerah. Pada tahun 1971, pemilu diikuti oleh 10 partai politik .
Pada tahun 1973 Soeharto menyuruh agar partai yang ada melakukan fusi, sehingga pada pamilu tahun 1977 anggota pemilu hanya tiga partai, yakni Golkar, PPP dan PDIP. Setelah reformasi bergulir, ada sedikit perbedaan dalam susunan parlemen dan model pemilihanya. DPD dipilih dengan model distrik, sedangkan DPR dan DPRD masih menggunakan system proporsional daftar terbuka. Pada emilu 2004, ada unsure distrik dalam model proprsionalnya, yakni suara perolehan suatu partai sisebuah Dapil yang tidak cukup untuk satu bilangan pembagi pemilih (BPP) tidak bisa ditambahkan ke perolehan partai di Dapil lain.
4.Mencari Sistem Pemilu Yang Terbaik
Pada pemilu 1999 Indonesia menggunakan sistim proporsional tertutup, tahun 2004 menggunakan sistim proporsional semi terbuka. Dinamakan dengan semi terbuka karena penentuan siapa yang akan mewakili partai dalam perolehan kursi di parlemen tidak didasarkan pada perolehan suara terbanyak melainkan tetap berdasarkan nomor urut. Tahun 2009 menjadi proporsional daftar terbuka setelah MK mengabulkan judicial review dengan menghapuskan pasal 214 UU No 10 th 2008 yang mengatur penetapan caleg berdasarkan nomor urut jika tidak memenuhi ketentuan 30 % dari BPP. Pada tahun 2009 calon dipilih sesuai dengan suara
terbanyak sehingga proporsional terbuka benar-benar diterapkan. Sistim proporsional terbuka dapat juga dikatakan sebagai sistim semi distrik, sebab sistim ini mengkombinasikan ciri-ciri atau lebih tepatnya kelebihan-kelebihan yang terdapat dalam sistem distrik dan proporsional, sekaligus menimalisir kekurangan yang ada pada keduanya.
Pada pemilu 2004-2014, sisa suara yang terdapat dalam suatu dapil tidak bisa ditambahkan ke dapil lain. Sisa kursi akan diberikan kepada sisa suara terbanyak namun tidak mencapai BPP. Sebagai contoh, partai A mendapatkan suara 150.000 sedangkan BPPnya 10.000, maka partai tersebut akan mendapatkan 10 kursi. Sedangkan sisa 5000 kursinya tidak bisa ditambahkan ke dapil lain. Jika dalam dapil tersebut sisa suara dari berbagai partai yang paling banyak adalah 5000 suara, maka sisa kursinya diserahkan kepada partai A.
Mengenai pengaruh dari sistim pemilu dan keberadaan partai, Maurice Duverger berpendapat bahwa sistim distrik cenderung mendorong terbentuknya dua partai, sedangkan sistim proporsional cenderung mendorong terbentuknya sistim multi partai. Sistim proporsional cenderung memperbesar fraksionalisme dan mendorong terbentuknya partai-partai kecil, sehingga ia berkeyakinan kalau sistim proporsional kondusif bagi bekembangnya multi partai .
Untuk mengurangi banyaknya partai yang tumbuh dalam system proporsional, Indonesia menerapkan electoral threshold dan
parliamentary threshold . Pada pemilu tahun 1999 Indonesia menggunakan
electoral threshold sebagaimana yang terdapat dalam pasal 39 UU No 3 tahun 1999 yang menegaskan bahwa partai politik harus memiliki 2% dari kursi DPR atau 3% kursi DPRD I atau II sekurang-kurangnya di setengah jumlah propinsi dan kabupaten seluruh Indonesia. Batas electoral threshold dalam pemilu 2004 naik lagi menjadi 3% dari kursi DPR dan 4% kursi DPRD yang tersebar di setengah jumlah provinsi atau kabupaten di Indonesia.
Mengenai pembatasan partai politik, dalam UU pemilu 2009 yakni UU No 10 th 2008, ketentuan parliamentary threshold mulai diberlakukan yang diatur dalam pasal 202. Dengan mulai digunakannya parliamentary threshold , maka ketentuan
electoral threshold mulai dihilangkan.
Pemilu tahun 2014 diatur dengan UU No 8 th 2012. Dalam UU teresebut, besaran PT yang pada 2009 sebesar 2.5 % dinaikkan menjadi 3.5%, hal ini diharapkan dapat membuat parlemen lebih ramping. Sebagaimana yang ada, partai yang berhasil lolos menjadi peserta pemilu tingkat pusat hanya 12. Yang membedakan pemilu 2014 dan pemilu sebelumnya adalah adanya verifikasi yang ketat bagi semua parpol, baik yang sudah ada di parlemen maupun parpol baru. Pada mulanya ambang batas parliamentary threshold sekaligus akan dijadikan electoral threshold , namun setelah MK mengeluarkan putusan No.52/PUU-X/2012 semua parpol mengkuti tahapan-tahapan verifikasi. Putusan tersebut menguatkan perspektif dalam proses penyederhanaan partai, yakni dengan menghapuskan ketentuan electoral threshold dan diganti dengan parliamentary threshold sekaligus tahapan-tahapan verfikasi bagi semua parpol. Terkait hal ini, Saldi Isra Pernah menuliskannya dalam sebuah opini di harian Kompas. secara jujur harus diakui, sepanjang pelaksanaan pemilu setelah reformasi, verifikasi faktual untuk keseluruhan parpol calon peserta pemilu baru kali ini dilaksanakan. Misalnya, pada pemilu 2004, parpol peserta pemilu 1999 yang memperoleh 2 persen atau lebih jumlah kursi DPR atau paling kurang 3 persen jumlah kursi DPRD ditetapkan sebagai peserta pemilu tanpa verifikasi.Sementara parpol yang bergabung dengan sesama yang tak memenuhi ambang batas diverifikasi terbatas. Verifikasi lebih ketat hanya ditujukan kepada parpol baru. Dalam pemilu 2009, parpol peserta pemiluu 2004 yang memperolehminimal 3 persen kursi DPR atau paling kurang 4 persen kursi DPRD secara otomatis menjadi peserta pemilu. System proporsional terbuka dengan suara terbanyak, peningkatan parliamentary threshold dan semakin ketatnya persyaratan bagi partai untuk mengikuti pemilihan umum memang dirasakan lebih demokratis dibandingkan menggunakan system distrik. Namun hal ini akan berjalan lambat untuk mendapatkan model dwi partai, bahkan mungkin tidak akan benar-benar menghasilkan dua partai. Pilihan system pemilu adalah pilihan yang lebih banyak unsure politiknya dibandingkan unsure akademiknya, berbagai kajian dan usulan tidak akan ada artinya jika tidak didukung kemauan politik, sebagaimana kasus yang terjadi pada tahun 1967. Mungkin kita perlu mencoba menggunakan system distrik, karena selama Indonesia merdeka kita selalu menggunakan system proporsional dengan berbagai variasi. Pada kenyataanya model tersebut selalu saja menghasilkan banyak partai.
5. Penutup
Pada awalnya, di dunia ini terdapat dua model system pemilu, yakni system distrik dan system proporsional. Karena kedua system tersebut mempunyai beberapa kelemahan, kemudian beberapa Negara mencoba mengaombinasikanya sehingga dikenal sebagai system campuran atau semi distrik. Yang menarik, percobaan untuk mencampurkan system selalu bermula pada system proporsional yang dipoles dengan warna distrik, bukan sebaliknya.
Semenjak awal diadakanya pemilihan umum, Indonesia masih tetap menggunakan system proporsional dengan berbagai tambahan warna distrik, seperti pada tahun 1971 yang menjamin setiap daerah tingkat II mendapatkan jatah 1 kursi di DPR. Pada tahun 2004-2014, hasil suara suatu partai yang tidak mencapai BPP tidak dapat ditambahkan ke Dapil lain. Jika dalam sebuah dapil ada sisa kursi, maka kursi tersebut diserahkan kepada partai yang sisa suaranya terbanyak. Model yang selama ini digunakan ternyata belum bisa efektif menyederhanakan partai yang dapat mengefektifkan pemerintahan presidensiil.
Karena tidak berhasilnya proporsional yang telah digunakan semenjak pemilu pertama, mungkin perlu mencoba hal yang baru yakni menggunakan system distrik dengan berbagai variasi agar tidak terlalu mencederai demokrasi. Model parliamentary threshold dan pengetatan syarat bagi partai untuk mengikuti pemilu memang sedikit demi sedikit akan menyederhanakan partai, namun perlu standar yang tinggi untuk mendapatkan 2 sampai 3 partai. Standar tinggi parliamentary threshold juga mendapatkan banyak kecaman, partai yang kecil merasa dizalimi dan mengatakan hal ini bertentangan dengan demokrasi. Jika menggunakan system distrik, semua partai akan bisa mengikuti pemilu dan akan berjuang keras agar mereka menjadi partai yang dominan di sebuah distrik. Dengan system ini tidak perlu ada persyaratan ketat untuk sebuah partai yang akan mengikuti pemilu, semuanya akan ditentukan dari kemampuanya menjaring suara di setiap distrik. Dengan beberapa kali pemilu saja system ini akan menghasilkan 2-3 partai yang dominan dan hal ini tentunya akan membuat presidensiil berjalan secara efektif. Partai yang mendapatkan suara di satu-dua distrik atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan suara, hampir dipastikan akan segera bergabung dengan partai yang besar.
Referensi :
http://suci.blog.fisip.uns.ac.id/2012/04/20/32/
http://www.academia.edu/5226858/sistem_pemilu_di_indonesia
http://www.slideshare.net/Hennov/sistem-pemilihan-umum
Permasalahan pemerintahan presidensil dengan multi partai di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai hingga kini, banyak para pakar politik dan HTN yang menyimpulkan tidak efektifnya system presidensiil dalam model multi partai. Hal ini karena pentingnya relasi yang kuat antara presiden dengan parlemen untuk mengambil berbagai kebijakan dalam menjalankan pemerintahan. Ide untuk menyederhanakan partai bukan hanya terjadi semenjak reformasi bergulir, pada pemilu tahun 1977 Soeharto menyederhanakan banyaknya partai menjadi tiga saja, yakni Golkar, PPP dan PDI. Namun model yang digunakan oleh Soeharto tidak mencerminkan sikap yang demokratis. Untuk membatasi banyaknya partai politik, sudah banyak cara yang digunakan sepertielectoral threshold dan parliamentary threshold.
Namun berbagai model yang digunakan ternyata belum sepenuhnya berjalan secara efektif. Dalam makalah ini penulis akan ikut memberikan pandangan terkait model penyederhanaan partai di Indonesia dengan tujuan menguatkan system presidensil. Untuk itu penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut:
1)Bagaimana model system pemilu yang selama ini digunakan di Indonesia?
2)Bagaimana model yang ideal untuk menyederhanakan partai di Indonesia?
2.Pembahasan
Kesulitan presidensiil dalam multi partai banyak menjadi perhatian dari para pakar Politik dan HTN, seperti yang dituliskan oleh Mainwaring di bawah ini:
In this article I argue that in presidential sistims, multiparty democracy is moredifficult to sustain than two-party democracy. Only one country Chile—with a multiparty sistim and a presidential sistim has achieved stable democracy. I agree with recent contributions that suggest that presidential sistims are generally less favorable to stable democracy than parliamentary sistims (especially cabinet governments), but go one step further in arguing that the difficulties of presidential democracy are compounded by multiparty sistims Berdasarkan pengamatan Mainwaring, hanya Chile yang kondisi pemerintahannya stabil, bahkan ia setuju dengna pendapat yang mengatakan kalau demokrasi lebih sesuai dengan parlementer dibandingkan dengan presidensiil. Namun dalam makalah ini penulis tidak akan terlalu jauh membahas hal tersebut, karena ketika amandemen kita sudah sepakat untuk mempertahankan dan bahkan memperkuat system presidensiil.
Berbagai Sistem PemiluPolarisasi partai politik sedikit banyak juga dipengaruhi oleh sistem pemilunya, ada dua sistem pemilihan umum,yaitu:
perwakilandistrik/mayoritas (single memberconstituency) dan sistem perwakilan berimbang (proportional representation).
1) Sistem Distrik
Sistim ini merupakan sistim pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis yang dinamakan sebagai distrik memperoleh satu kursi di parlemen. Negara diabagi kedalam wilayah/distrik yang sama jumlah penduduknya. Dalam system ini, calon yang mendapatkan suara terbanyak yang akan menjadi pemenang, meskipun selisih dengan calon lain hanya sedikit. Suara yang endukung calon lain akan dianggap hilang dan tidak dapat membantu partainya untuk mendapatkan jumlah suara partainya di distrik lain
Beberapa keunggulan dari sistim distrik
a. Sistim ini lebih mendorong ke arah integrasi parpol karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan dapat mendorong parpol menyisihkan perbedaan yang ada dan mengadakan kerjasama.
b. Fragmentasi partai dan kecenderungan partai baru dapat dibendung dan akan mendorong ke arah penyederhanaan partai tanpa ada paksaan. Di Amerika dan Inggris system ini telah menunjang bertahanya system dwi partai.
c. Karena kecilnya distrik, wakil yang dipilih dapat dikenal oleh komunitasnya sehingga hubunganya dengan konstituen lebih erat dan orang yang tekah terpilih akan cenderung memperjuangkan kepentingan distriknya.
d. Bagi partai besar, system ini menguntungkan karena melalui distortion effect
dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain, sehingga memperoleh dukungan mayoritas. Sehingga partai pemenang dapat mengendalikan parlemen.
e. Lebih mudah bagi partai pemenang untuk menguasai parlemen sehingga tidak perlu mengadakan koalisi .
System distrik memang akan mengarahkan penyederhanaan partai secara alami, namun system ini juga tidak luput dari kelemahan, diantaranya sebagai berikut:
a. Kurang memperhatkan kepentingan partai kecil dan golongan minoritas.
b. Kurang representatif, karena partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik akan kehilangan suarau yang telah mendukungnya .
c. System distrik kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam berbagai kelompok dan suku.
2). Sistem Proporsional
Dalam sistim ini, presentase kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap parpol sesuai dengan presentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tia
parpol. Jimly Asshidiqie mencontohkan model dari sistim ini, misalkan jumlah pemilih yang sah dalam pemilu 1 juta orang sedangkan jumlah kursi di perwakilan rakyat 100 kursi, maka untuk satu orang wakil rakyat membutuhkan 10 ribu suara. Pembagian kursi di parlemen tergantung seberapa suara yang diperoleh setiap parpol.
Kelebihan/keuntungan sistem proporsional:
a.System proporsional dianggap representatif karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengn jumlah suara masyarakat yang diperoleh dalam pemilu .
b.Sistem ini dianggap lebih demokratis karena tidak ada distorsi (kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen tanpa adanya suara yang hilang). Semua golongan dalam masyarakat memperoleh peluang untuk menampilkan wakilnya dalam parlemen .
Kelemahan/kerugian sistem proporsional:
a. Kurang mendorong partai untuk berintegrasi atau bekerja sama satu sama lain dan memanfaatkan persamaan-persamaan yang ada, tapai cenderung mempertjam perbedaan-perbedaan. Sehingga berakibat pada bertembahnya jumlah partai.
b. Memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan partai menentukan daftar calon.
c. Oleh karena banyaknya partai yang bersaing, maka akan menyulitkan suatau partai untuk meraih suara mayoritas (50% lebih).
Sistim proporsional ada dua, yaitu sistim daftar tertutup dan terbuka. Dalam sistim daftar tertutup, para pemilih harus memilih partai politik dan bukan calon legislatifnya. Sedangkan dalam sistim daftar terbuka, selain memilih gambar paropol para pemilih juga memilih gambar kandidat yang diusung oleh parpol tersebut.
3). Gabungan system distrik dan system proporsional Karena dari kedua system di atas mempunyai kelebihan dan kekuarangan masing-masing, maka beberapa Negara mencoba untuk menggabungkan kedua system tersebut. Jerman adalah salah satu contoh Negara yang berhasil menerapkan gabungan kedua system ini, di Jerman setengah dari parlemen dipilih dengan system distrik dan setengahnya lagi dengan system proporsional. Setiap pemilih mempunyai dua suara; pemilih memilih calon atas dasar system distrik (sebagai suara perama) dan pemilih juga memilih partai dengan dasar system proporsional (sebagai suara kedua). Di jerman juga diterapkan model parliamentary threshold sebagaimana yang kita kenal sekarang. Di sana, sebuah partai akan mempunyai kursi di parlemen jika meraih minimal 5% dari jumlah suara sah secara nasional atau memenagnkan setidaknya 3% distrik pemilihan.
3. Perjalanan Sistem Pemilu di Indonesia
Sejak dulu sampai sekarang Indonesia tidak pernah berhenti mencari system pemilu yang benar-benar cocok. Namun yang pasti, sejak dahulu sampai sekarang Indonesia selalu menerapkan model proporsional meskipun belakangan ini model proporsional yang berlaku bukan semurni asalnya. Pada tahun 1955 pemilu diadakan dua kali; memilih anggota DPR pada bulan September dan memlih anggota Konstituante pada bulan Desember dengan model proporsional karena pada waktu itu hanya system proporsional yang dikenal di Indonesia. Pemilu tersebut menghasilkan 27 partai dan satu perorangan, partai yang sangat menonjol adalah Masyumi, PNI, NU dan PKI10. Pada tahun 1966 dan 1967 sistem distrik sudah mulai didiskusikan, pada saat itu, system distrik dirasa dapat mengurangi jumlah partai secara alamiah. Namun hasil tersebut ditolak ketika pada tahun 1967 DPR membahas RUU yang terkait dengannya. Sehingga pemilu tahun 1971 masih tetap menggunakan system proporsional dengan beberapa modifikasi. Pertama, setiap daerah tinggakat II/kabupaten dijamin mendapatkan satu kursi di DPR. Kedua, dari 460 anggota DPR, 100 nya diangakat; 75 dari ABRI dan 25 dari Non ABRI yang diangkat dari utusan golongan dan daerah. Pada tahun 1971, pemilu diikuti oleh 10 partai politik .
Pada tahun 1973 Soeharto menyuruh agar partai yang ada melakukan fusi, sehingga pada pamilu tahun 1977 anggota pemilu hanya tiga partai, yakni Golkar, PPP dan PDIP. Setelah reformasi bergulir, ada sedikit perbedaan dalam susunan parlemen dan model pemilihanya. DPD dipilih dengan model distrik, sedangkan DPR dan DPRD masih menggunakan system proporsional daftar terbuka. Pada emilu 2004, ada unsure distrik dalam model proprsionalnya, yakni suara perolehan suatu partai sisebuah Dapil yang tidak cukup untuk satu bilangan pembagi pemilih (BPP) tidak bisa ditambahkan ke perolehan partai di Dapil lain.
4.Mencari Sistem Pemilu Yang Terbaik
Pada pemilu 1999 Indonesia menggunakan sistim proporsional tertutup, tahun 2004 menggunakan sistim proporsional semi terbuka. Dinamakan dengan semi terbuka karena penentuan siapa yang akan mewakili partai dalam perolehan kursi di parlemen tidak didasarkan pada perolehan suara terbanyak melainkan tetap berdasarkan nomor urut. Tahun 2009 menjadi proporsional daftar terbuka setelah MK mengabulkan judicial review dengan menghapuskan pasal 214 UU No 10 th 2008 yang mengatur penetapan caleg berdasarkan nomor urut jika tidak memenuhi ketentuan 30 % dari BPP. Pada tahun 2009 calon dipilih sesuai dengan suara
terbanyak sehingga proporsional terbuka benar-benar diterapkan. Sistim proporsional terbuka dapat juga dikatakan sebagai sistim semi distrik, sebab sistim ini mengkombinasikan ciri-ciri atau lebih tepatnya kelebihan-kelebihan yang terdapat dalam sistem distrik dan proporsional, sekaligus menimalisir kekurangan yang ada pada keduanya.
Pada pemilu 2004-2014, sisa suara yang terdapat dalam suatu dapil tidak bisa ditambahkan ke dapil lain. Sisa kursi akan diberikan kepada sisa suara terbanyak namun tidak mencapai BPP. Sebagai contoh, partai A mendapatkan suara 150.000 sedangkan BPPnya 10.000, maka partai tersebut akan mendapatkan 10 kursi. Sedangkan sisa 5000 kursinya tidak bisa ditambahkan ke dapil lain. Jika dalam dapil tersebut sisa suara dari berbagai partai yang paling banyak adalah 5000 suara, maka sisa kursinya diserahkan kepada partai A.
Mengenai pengaruh dari sistim pemilu dan keberadaan partai, Maurice Duverger berpendapat bahwa sistim distrik cenderung mendorong terbentuknya dua partai, sedangkan sistim proporsional cenderung mendorong terbentuknya sistim multi partai. Sistim proporsional cenderung memperbesar fraksionalisme dan mendorong terbentuknya partai-partai kecil, sehingga ia berkeyakinan kalau sistim proporsional kondusif bagi bekembangnya multi partai .
Untuk mengurangi banyaknya partai yang tumbuh dalam system proporsional, Indonesia menerapkan electoral threshold dan
parliamentary threshold . Pada pemilu tahun 1999 Indonesia menggunakan
electoral threshold sebagaimana yang terdapat dalam pasal 39 UU No 3 tahun 1999 yang menegaskan bahwa partai politik harus memiliki 2% dari kursi DPR atau 3% kursi DPRD I atau II sekurang-kurangnya di setengah jumlah propinsi dan kabupaten seluruh Indonesia. Batas electoral threshold dalam pemilu 2004 naik lagi menjadi 3% dari kursi DPR dan 4% kursi DPRD yang tersebar di setengah jumlah provinsi atau kabupaten di Indonesia.
Mengenai pembatasan partai politik, dalam UU pemilu 2009 yakni UU No 10 th 2008, ketentuan parliamentary threshold mulai diberlakukan yang diatur dalam pasal 202. Dengan mulai digunakannya parliamentary threshold , maka ketentuan
electoral threshold mulai dihilangkan.
Pemilu tahun 2014 diatur dengan UU No 8 th 2012. Dalam UU teresebut, besaran PT yang pada 2009 sebesar 2.5 % dinaikkan menjadi 3.5%, hal ini diharapkan dapat membuat parlemen lebih ramping. Sebagaimana yang ada, partai yang berhasil lolos menjadi peserta pemilu tingkat pusat hanya 12. Yang membedakan pemilu 2014 dan pemilu sebelumnya adalah adanya verifikasi yang ketat bagi semua parpol, baik yang sudah ada di parlemen maupun parpol baru. Pada mulanya ambang batas parliamentary threshold sekaligus akan dijadikan electoral threshold , namun setelah MK mengeluarkan putusan No.52/PUU-X/2012 semua parpol mengkuti tahapan-tahapan verifikasi. Putusan tersebut menguatkan perspektif dalam proses penyederhanaan partai, yakni dengan menghapuskan ketentuan electoral threshold dan diganti dengan parliamentary threshold sekaligus tahapan-tahapan verfikasi bagi semua parpol. Terkait hal ini, Saldi Isra Pernah menuliskannya dalam sebuah opini di harian Kompas. secara jujur harus diakui, sepanjang pelaksanaan pemilu setelah reformasi, verifikasi faktual untuk keseluruhan parpol calon peserta pemilu baru kali ini dilaksanakan. Misalnya, pada pemilu 2004, parpol peserta pemilu 1999 yang memperoleh 2 persen atau lebih jumlah kursi DPR atau paling kurang 3 persen jumlah kursi DPRD ditetapkan sebagai peserta pemilu tanpa verifikasi.Sementara parpol yang bergabung dengan sesama yang tak memenuhi ambang batas diverifikasi terbatas. Verifikasi lebih ketat hanya ditujukan kepada parpol baru. Dalam pemilu 2009, parpol peserta pemiluu 2004 yang memperolehminimal 3 persen kursi DPR atau paling kurang 4 persen kursi DPRD secara otomatis menjadi peserta pemilu. System proporsional terbuka dengan suara terbanyak, peningkatan parliamentary threshold dan semakin ketatnya persyaratan bagi partai untuk mengikuti pemilihan umum memang dirasakan lebih demokratis dibandingkan menggunakan system distrik. Namun hal ini akan berjalan lambat untuk mendapatkan model dwi partai, bahkan mungkin tidak akan benar-benar menghasilkan dua partai. Pilihan system pemilu adalah pilihan yang lebih banyak unsure politiknya dibandingkan unsure akademiknya, berbagai kajian dan usulan tidak akan ada artinya jika tidak didukung kemauan politik, sebagaimana kasus yang terjadi pada tahun 1967. Mungkin kita perlu mencoba menggunakan system distrik, karena selama Indonesia merdeka kita selalu menggunakan system proporsional dengan berbagai variasi. Pada kenyataanya model tersebut selalu saja menghasilkan banyak partai.
5. Penutup
Pada awalnya, di dunia ini terdapat dua model system pemilu, yakni system distrik dan system proporsional. Karena kedua system tersebut mempunyai beberapa kelemahan, kemudian beberapa Negara mencoba mengaombinasikanya sehingga dikenal sebagai system campuran atau semi distrik. Yang menarik, percobaan untuk mencampurkan system selalu bermula pada system proporsional yang dipoles dengan warna distrik, bukan sebaliknya.
Semenjak awal diadakanya pemilihan umum, Indonesia masih tetap menggunakan system proporsional dengan berbagai tambahan warna distrik, seperti pada tahun 1971 yang menjamin setiap daerah tingkat II mendapatkan jatah 1 kursi di DPR. Pada tahun 2004-2014, hasil suara suatu partai yang tidak mencapai BPP tidak dapat ditambahkan ke Dapil lain. Jika dalam sebuah dapil ada sisa kursi, maka kursi tersebut diserahkan kepada partai yang sisa suaranya terbanyak. Model yang selama ini digunakan ternyata belum bisa efektif menyederhanakan partai yang dapat mengefektifkan pemerintahan presidensiil.
Karena tidak berhasilnya proporsional yang telah digunakan semenjak pemilu pertama, mungkin perlu mencoba hal yang baru yakni menggunakan system distrik dengan berbagai variasi agar tidak terlalu mencederai demokrasi. Model parliamentary threshold dan pengetatan syarat bagi partai untuk mengikuti pemilu memang sedikit demi sedikit akan menyederhanakan partai, namun perlu standar yang tinggi untuk mendapatkan 2 sampai 3 partai. Standar tinggi parliamentary threshold juga mendapatkan banyak kecaman, partai yang kecil merasa dizalimi dan mengatakan hal ini bertentangan dengan demokrasi. Jika menggunakan system distrik, semua partai akan bisa mengikuti pemilu dan akan berjuang keras agar mereka menjadi partai yang dominan di sebuah distrik. Dengan system ini tidak perlu ada persyaratan ketat untuk sebuah partai yang akan mengikuti pemilu, semuanya akan ditentukan dari kemampuanya menjaring suara di setiap distrik. Dengan beberapa kali pemilu saja system ini akan menghasilkan 2-3 partai yang dominan dan hal ini tentunya akan membuat presidensiil berjalan secara efektif. Partai yang mendapatkan suara di satu-dua distrik atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan suara, hampir dipastikan akan segera bergabung dengan partai yang besar.
Referensi :
http://suci.blog.fisip.uns.ac.id/2012/04/20/32/
http://www.academia.edu/5226858/sistem_pemilu_di_indonesia
http://www.slideshare.net/Hennov/sistem-pemilihan-umum