Malam itu sunyi, Winne duduk menyendiri di teras rumah, ditemani majalah pavoritnya. Ia mencoba memusatkan pikiran untuk membaca, namun tak satu pun paragraf berhasil dicerna. Rasa sepi mencabik-cabik pikiran. Tak pernah sebelumnya ia merasakan begitu hampanya hidup, tak pernah, kecuali sejak malam itu. Ia merindukan seorang pria, tapi hati kecilnya menolak untuk merindukan pria itu.
Winne adalah gadis idaman, baik di desa maupun di lingkungan sekolahnya (saat itu ia masih SMA), Winne jadi idola. Ia dikaruniai paras jelita menyaingi jelitanya artis ibu kota. Lembut, selembut cahaya purnama. Tak heran jika beragam tipe cowok berebut mengemis cinta. Mereka berlomba-lomba untuk menggaet Winne, yang tampan ikhlas berkorban, yang kaya rela sengsara, yang pandai jadi penghayal, dan yang keriput sampai bertekuk lutut.
Namun seribu kali namun, di balik kecantikan wajahnya ternyata tersimpan hati yang beku. Padat, sepadat batu. Belum pernah ada cowok yang berhasil mereguk cintanya, betapa pun hebatnya kedudukan si pria di mata para wanita. Inilah yang menyebabkan banyak lelaki putus asa, benci sendiri, tak berarti, sampai kepikiran bunuh diri. Salah satunya adalah Ipang.
Agus, seorang teman dari desa tetangga yang pernah ‘menembak’ gadis itu, berkata: “Ia menolak cintaku sedingin Ryan dalam kasus mutilasi.” Agus tak tahu bahwa penolakan Winne terhadap cinta Ipang sekejam Holocaust di kamp-kamp konsenstrasi Hitler.
Lalu, tiba-tiba saja, tak disangka-sangka, layaknya dongengan cinta kelas amatiran, seorang pemuda miskin lulusan SMP di desanya berhasil menebarkan benih-benih kerinduan ke dalam hati gadis itu. Begitu mudahnya si pemuda meruntuhkan keangkuhan hati Winne, hanya diawali dengan pertemuan sepele, yaitu pertemuan tak sengaja di angkutan desa.
Alkisah, sepulang sekolah di kota Winne menumpang angkutan (biasalah kalau keturunan ningrat sekolahnya musti di kota, padahal SMA di kecamatan juga ada). Ia duduk di sebelah pria berkemeja coklat lengan panjang yang dilipat rapi, bercelana jeans murahan, belel bukan karena gaya tapi karena keseringan dicuci. Di tangan pemuda itu tergantung plastik putih bertuliskan nama toko. Sepanjang jalan Winne tak memerhatikan wajah cowok itu. Jangankan memerhatikan, kepikiran pun tisak. Winne adalah tipe cewek super cuek, tak mudah mengambil perhatiannya, sekuat apa pun kau-kau berusaha.
Memasuki kecamatan Lebaksari (kampung Batuhieum masuk ke kecamatan ini), jalan yang dilewati rusaknya minta ampun, berlubang-lubang seperti tanah yang tertimpa pecahan meteorit. Tak ayal, mobil berguncang hebat, para penumpangnya saling berdesakan.
Bagi Winne, yang setiap hari pulang pergi sekolah melewati jalan itu, guncangan tersebut sudah dianggapnya biasa, layaknya goyangan dangdut saja. Ia hanya cukup menekan pantat ke jok serta dua kakinya ke lantai untuk mengantisipasi lonjakan tubuhnya. Begitu pun penumpang lainnya. Tapi, pemuda kampungan yang duduk di sebelahnya.., ya, ampun! Dia sungguh tampak sengsara. Tubuhnya tegang-tegang. Otot tangannya mengeras, mencengkram pegangan besi di jendela. Dia kaku banget, tubuhnya mendesak ke kiri, ke kanan. Mau tak mau Winne terganggu, tapi keukeuh ia tak punya hasrat untuk melihat wajah cowok itu.
Jalan aspal kembali mulus begitu mobil melewati tugu perbatasan kampung Batuhieum. Saat itulah, tak disangka-sangka, cowok yang duduk di sebelahnya bicara: “Sudah lama tak pergian ke kota. Baru kutahu jalannya ternyata rusak begini.”
Winne merasa pernah mendengar suara itu, maka ia menoleh. Degh! Ia terkesiap. Kaget tak alang-kepalang. Seujung rambut pun ia tak menyangka cowok yang sedari tadi duduk di sampingnya adalah Dias.
Winne jelas mengenal pemuda ganteng berambut sebahu itu. Keduanya sama-sama berasal dari Batuhieum. Bahkan dulu, semasih SD Dias pernah menjadi teman akrab kakak laki-lakinya, Nenda, yang sekarang kuliah di Bandung. Dias sering diajak main ke rumahnya memetik jambu air dan belimbing. Winne kecil suka menjerit-jerit manja agar Dias terus melemparkan belimbing masak ke depannya.
Winne mengangguk pelan untuk merespon ucapan Dias, lalu pandangannya kembali ke posisi semula, mencoba ambil sikap dingin. Ia berusaha tak terpengaruh. Tapi, hati kecilnya tak bisa dibohongi, diam-diam ia merindukan senyum dan tawa cowok itu. Maka ia menoleh lagi tepat ketika Dias tersenyum. Desh, desh, desh!
Darahnya berdesir, jantungnya berdebar. Ajaib. Winne yang cuek, yang angkuh, sekonyong-konyong hatinya luruh melihat senyum cowok itu, senyum yang tulus, setulus wajah dan penampilannya. Teduh, seteduh pandangan matanya. Senyum Dias jauh dari kesan ingin dipuja atau hendak menguasai, tanpa pamrih, tanpa tekanan. Wajah tampannya jernih menyiratkan kejujuran.
Winne lekas berpaling. Kali ini ia gundah gulana. Ia terus memikirkan betapa bisa senyum itu merisaukan hatinya. Ia ingin menghalau pikiran tersebut, tapi semakin kuat ia menghalau, semakin terpikirkan olehnya. Winne belum menyadari panah asmara telah menancap di hatinya. Ia baru akan menyadarinya nanti setelah turun dari mobil.
Begitulah, cinta memang aneh. Ia datang tak terduga, dengan cara yang tak terduga pula. Dan, seumpama Izrail mencabut nyawa, cinta datang tak dapat dielakkan. Semakin kuat kamu mengelak, semakin kuat cinta mencengkrammu.
Angin malam berhembus menyisir dedaunan, menebarkan rasa dingin di sekujur tubuh. Gamang, Winne menutup majalah, lalu beranjak hendak masuk rumah. Tepat di muka pintu langkahnya terhenti. Lamat-lamat ia mendengar suara petikan gitar dari arah poskamling, suaranya berdenting sendirian menembus gelap dan sunyi. Sang pemetik gitar melantunkan intro lagu bernuansa syahdu, seakan-akan ia tahu apa yang dirasakan Winne saat itu. Tak lama kemudian, menyusul masuk suara vokal di sela-sela petikan gitarnya. Suaranya merdu sekali. Winne terharu sekaligus senang mendengar suara pemuda yang dirindukannya mengumandang di kesunyian.
Cinta yang kurasakan di dada ini lebih besar dari apa pun.
Beban kerinduan mendentum kalbu, membuatku tak berdaya.
Selalu aku ingin menjumpaimu, kasih, meskipun kau bukan milikku. Mengalir angan dan mimpi-mimpi, hayalan yang tak pasti.
Winne diam terpaku. Syair itu perlahan merasuk ke dalam hatinya, menyentuh kalbu, menyiram dan menyejukan jiwa yang lara.
Kekasihku, pernahkah kau merasakan cinta yang terdalam, hadirnya pengharapan di jiwamu.
Kini aku mengalaminya. Sesak kerinduanku, semakin membuatku tak berdaya.
Winne merasakan sesuatu di hatinya terus menekan, memaksa sepasang kakinya bergerak menuruni teras. Ia memetik sekuntum mawar, lalu diselipkan mawar itu di sela-sela lembaran majalah. Nah, diiringi suara petikan gitar itu, ia melangkah ke luar halaman. Ia bertekad akan menjumpai pemuda itu, pemuda yang telah mengkontaminasi pikirannya dengan racun cinta.
“Lagumu menyakitiku.”
Dias tertegun. Cahaya lampu bohlam lima watt di poskamling menyiram wajahnya yang penuh sesal.
Winne mengambil tempat duduk di sebelah Dias. Majalah yang di dalamnya terselip mawar ia sembunyikan di sebelah kirinya. “Apa judul lagu itu, Ias?”
Dias menurunkan posisi kakinya yang semula berselonjor.
“Senandung Rindu.”
Winne mengerling. “Lagu siapa?”
“Lagu ciptaanku sendiri. Jelek?”
“Bagus, kok.”
Keduanya saling tatap sebentar, lalu sama-sama termangu.
Dias menoleh lagi. “Maaf, nyanyianku mengganggu.”
Winne tersenyum tipis, namun dengan cepat ia palingkan muka untuk menyembunyikan senyumnya. Gadis bermata sendu itu berdehem sebentar, lantas kembali berekspresi serius.
Dias mulai lagi memainkan gitar. Semakin ke sini, rangkaian nada yang berdenting terdengar semakin rancak, liar, penuh gairah. Mulut pemuda itu memang terkatup diam, tapi hatinya tengah bernyanyi bahagia.
“Sudah lama….” Winne membiarkan ucapannya menggantung begitu saja.
“Ya, memang sudah lama.”
“Hei, jangan ngawur. Apanya yang lama? Aku belum selesai ngomong!”
Dias tertawa. “Tapi aku tahu maksudmu.”
“Sok tahu! Apa coba?”
“Kita sudah lama tak beginian lagi, kan?”
Winne menyeringai. “Beginian apa, maksudmu?”
“Ya seperti ini, kita bicara, menyapa, bergurau.”
Winne tercekat. Kerongkongannya tiba-tiba terasa kering.
Tempo permainan gitar perlahan-lahan melambat, semakin lambat, lalu berhenti sama-sekali. Kesunyian merayap, rasa haru menelusup kalbu.
“Padahal hampir setiap hari kita bertemu,” Dias bergumam, “ah, seandainya waktu bisa diundur kembali.”
Winne memungut kembali majalah di sebelah kirinya, sembari secara diam-diam menjatuhkan tangkai bunga mawar dari lembaran majalah tersebut ke bangku. Lalu, dengan berat Winne berdiri:
“Masa lalu tak mungkin kembali, Ias. Tapi kita bisa mengulang keindahannya.”
Tak menunggu respon Dias, Winne berbalik meninggalkan pemuda itu.
Cukup lama Dias termangu. Ia masih kurang mengerti apa yang barusan diucapkan Winne. Baru, ketika bayangan Winne menghilang di balik pagar halaman rumahnya, Dias mendapati setangkai mawar tergolek tak jauh di sisinya..
BERSAMBUNG..!
Winne adalah gadis idaman, baik di desa maupun di lingkungan sekolahnya (saat itu ia masih SMA), Winne jadi idola. Ia dikaruniai paras jelita menyaingi jelitanya artis ibu kota. Lembut, selembut cahaya purnama. Tak heran jika beragam tipe cowok berebut mengemis cinta. Mereka berlomba-lomba untuk menggaet Winne, yang tampan ikhlas berkorban, yang kaya rela sengsara, yang pandai jadi penghayal, dan yang keriput sampai bertekuk lutut.
Namun seribu kali namun, di balik kecantikan wajahnya ternyata tersimpan hati yang beku. Padat, sepadat batu. Belum pernah ada cowok yang berhasil mereguk cintanya, betapa pun hebatnya kedudukan si pria di mata para wanita. Inilah yang menyebabkan banyak lelaki putus asa, benci sendiri, tak berarti, sampai kepikiran bunuh diri. Salah satunya adalah Ipang.
Agus, seorang teman dari desa tetangga yang pernah ‘menembak’ gadis itu, berkata: “Ia menolak cintaku sedingin Ryan dalam kasus mutilasi.” Agus tak tahu bahwa penolakan Winne terhadap cinta Ipang sekejam Holocaust di kamp-kamp konsenstrasi Hitler.
Lalu, tiba-tiba saja, tak disangka-sangka, layaknya dongengan cinta kelas amatiran, seorang pemuda miskin lulusan SMP di desanya berhasil menebarkan benih-benih kerinduan ke dalam hati gadis itu. Begitu mudahnya si pemuda meruntuhkan keangkuhan hati Winne, hanya diawali dengan pertemuan sepele, yaitu pertemuan tak sengaja di angkutan desa.
Alkisah, sepulang sekolah di kota Winne menumpang angkutan (biasalah kalau keturunan ningrat sekolahnya musti di kota, padahal SMA di kecamatan juga ada). Ia duduk di sebelah pria berkemeja coklat lengan panjang yang dilipat rapi, bercelana jeans murahan, belel bukan karena gaya tapi karena keseringan dicuci. Di tangan pemuda itu tergantung plastik putih bertuliskan nama toko. Sepanjang jalan Winne tak memerhatikan wajah cowok itu. Jangankan memerhatikan, kepikiran pun tisak. Winne adalah tipe cewek super cuek, tak mudah mengambil perhatiannya, sekuat apa pun kau-kau berusaha.
Memasuki kecamatan Lebaksari (kampung Batuhieum masuk ke kecamatan ini), jalan yang dilewati rusaknya minta ampun, berlubang-lubang seperti tanah yang tertimpa pecahan meteorit. Tak ayal, mobil berguncang hebat, para penumpangnya saling berdesakan.
Bagi Winne, yang setiap hari pulang pergi sekolah melewati jalan itu, guncangan tersebut sudah dianggapnya biasa, layaknya goyangan dangdut saja. Ia hanya cukup menekan pantat ke jok serta dua kakinya ke lantai untuk mengantisipasi lonjakan tubuhnya. Begitu pun penumpang lainnya. Tapi, pemuda kampungan yang duduk di sebelahnya.., ya, ampun! Dia sungguh tampak sengsara. Tubuhnya tegang-tegang. Otot tangannya mengeras, mencengkram pegangan besi di jendela. Dia kaku banget, tubuhnya mendesak ke kiri, ke kanan. Mau tak mau Winne terganggu, tapi keukeuh ia tak punya hasrat untuk melihat wajah cowok itu.
Jalan aspal kembali mulus begitu mobil melewati tugu perbatasan kampung Batuhieum. Saat itulah, tak disangka-sangka, cowok yang duduk di sebelahnya bicara: “Sudah lama tak pergian ke kota. Baru kutahu jalannya ternyata rusak begini.”
Winne merasa pernah mendengar suara itu, maka ia menoleh. Degh! Ia terkesiap. Kaget tak alang-kepalang. Seujung rambut pun ia tak menyangka cowok yang sedari tadi duduk di sampingnya adalah Dias.
Winne jelas mengenal pemuda ganteng berambut sebahu itu. Keduanya sama-sama berasal dari Batuhieum. Bahkan dulu, semasih SD Dias pernah menjadi teman akrab kakak laki-lakinya, Nenda, yang sekarang kuliah di Bandung. Dias sering diajak main ke rumahnya memetik jambu air dan belimbing. Winne kecil suka menjerit-jerit manja agar Dias terus melemparkan belimbing masak ke depannya.
Winne mengangguk pelan untuk merespon ucapan Dias, lalu pandangannya kembali ke posisi semula, mencoba ambil sikap dingin. Ia berusaha tak terpengaruh. Tapi, hati kecilnya tak bisa dibohongi, diam-diam ia merindukan senyum dan tawa cowok itu. Maka ia menoleh lagi tepat ketika Dias tersenyum. Desh, desh, desh!
Darahnya berdesir, jantungnya berdebar. Ajaib. Winne yang cuek, yang angkuh, sekonyong-konyong hatinya luruh melihat senyum cowok itu, senyum yang tulus, setulus wajah dan penampilannya. Teduh, seteduh pandangan matanya. Senyum Dias jauh dari kesan ingin dipuja atau hendak menguasai, tanpa pamrih, tanpa tekanan. Wajah tampannya jernih menyiratkan kejujuran.
Winne lekas berpaling. Kali ini ia gundah gulana. Ia terus memikirkan betapa bisa senyum itu merisaukan hatinya. Ia ingin menghalau pikiran tersebut, tapi semakin kuat ia menghalau, semakin terpikirkan olehnya. Winne belum menyadari panah asmara telah menancap di hatinya. Ia baru akan menyadarinya nanti setelah turun dari mobil.
Begitulah, cinta memang aneh. Ia datang tak terduga, dengan cara yang tak terduga pula. Dan, seumpama Izrail mencabut nyawa, cinta datang tak dapat dielakkan. Semakin kuat kamu mengelak, semakin kuat cinta mencengkrammu.
Angin malam berhembus menyisir dedaunan, menebarkan rasa dingin di sekujur tubuh. Gamang, Winne menutup majalah, lalu beranjak hendak masuk rumah. Tepat di muka pintu langkahnya terhenti. Lamat-lamat ia mendengar suara petikan gitar dari arah poskamling, suaranya berdenting sendirian menembus gelap dan sunyi. Sang pemetik gitar melantunkan intro lagu bernuansa syahdu, seakan-akan ia tahu apa yang dirasakan Winne saat itu. Tak lama kemudian, menyusul masuk suara vokal di sela-sela petikan gitarnya. Suaranya merdu sekali. Winne terharu sekaligus senang mendengar suara pemuda yang dirindukannya mengumandang di kesunyian.
Cinta yang kurasakan di dada ini lebih besar dari apa pun.
Beban kerinduan mendentum kalbu, membuatku tak berdaya.
Selalu aku ingin menjumpaimu, kasih, meskipun kau bukan milikku. Mengalir angan dan mimpi-mimpi, hayalan yang tak pasti.
Winne diam terpaku. Syair itu perlahan merasuk ke dalam hatinya, menyentuh kalbu, menyiram dan menyejukan jiwa yang lara.
Kekasihku, pernahkah kau merasakan cinta yang terdalam, hadirnya pengharapan di jiwamu.
Kini aku mengalaminya. Sesak kerinduanku, semakin membuatku tak berdaya.
Winne merasakan sesuatu di hatinya terus menekan, memaksa sepasang kakinya bergerak menuruni teras. Ia memetik sekuntum mawar, lalu diselipkan mawar itu di sela-sela lembaran majalah. Nah, diiringi suara petikan gitar itu, ia melangkah ke luar halaman. Ia bertekad akan menjumpai pemuda itu, pemuda yang telah mengkontaminasi pikirannya dengan racun cinta.
“Lagumu menyakitiku.”
Dias tertegun. Cahaya lampu bohlam lima watt di poskamling menyiram wajahnya yang penuh sesal.
Winne mengambil tempat duduk di sebelah Dias. Majalah yang di dalamnya terselip mawar ia sembunyikan di sebelah kirinya. “Apa judul lagu itu, Ias?”
Dias menurunkan posisi kakinya yang semula berselonjor.
“Senandung Rindu.”
Winne mengerling. “Lagu siapa?”
“Lagu ciptaanku sendiri. Jelek?”
“Bagus, kok.”
Keduanya saling tatap sebentar, lalu sama-sama termangu.
Dias menoleh lagi. “Maaf, nyanyianku mengganggu.”
Winne tersenyum tipis, namun dengan cepat ia palingkan muka untuk menyembunyikan senyumnya. Gadis bermata sendu itu berdehem sebentar, lantas kembali berekspresi serius.
Dias mulai lagi memainkan gitar. Semakin ke sini, rangkaian nada yang berdenting terdengar semakin rancak, liar, penuh gairah. Mulut pemuda itu memang terkatup diam, tapi hatinya tengah bernyanyi bahagia.
“Sudah lama….” Winne membiarkan ucapannya menggantung begitu saja.
“Ya, memang sudah lama.”
“Hei, jangan ngawur. Apanya yang lama? Aku belum selesai ngomong!”
Dias tertawa. “Tapi aku tahu maksudmu.”
“Sok tahu! Apa coba?”
“Kita sudah lama tak beginian lagi, kan?”
Winne menyeringai. “Beginian apa, maksudmu?”
“Ya seperti ini, kita bicara, menyapa, bergurau.”
Winne tercekat. Kerongkongannya tiba-tiba terasa kering.
Tempo permainan gitar perlahan-lahan melambat, semakin lambat, lalu berhenti sama-sekali. Kesunyian merayap, rasa haru menelusup kalbu.
“Padahal hampir setiap hari kita bertemu,” Dias bergumam, “ah, seandainya waktu bisa diundur kembali.”
Winne memungut kembali majalah di sebelah kirinya, sembari secara diam-diam menjatuhkan tangkai bunga mawar dari lembaran majalah tersebut ke bangku. Lalu, dengan berat Winne berdiri:
“Masa lalu tak mungkin kembali, Ias. Tapi kita bisa mengulang keindahannya.”
Tak menunggu respon Dias, Winne berbalik meninggalkan pemuda itu.
Cukup lama Dias termangu. Ia masih kurang mengerti apa yang barusan diucapkan Winne. Baru, ketika bayangan Winne menghilang di balik pagar halaman rumahnya, Dias mendapati setangkai mawar tergolek tak jauh di sisinya..
BERSAMBUNG..!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar